Bahaya Hasud Dalam Hati Manusia
Dahulu kala di mesir, ada seorang lelaki yang bernama Mush-chab.
Adapun pekerjaannya adalah pengembala kambing sedangkan usianya sekitar
170 tahun. Namun sampai usia tersebut belum dikarunia seorang anak
sekali pun. Padahal nurani seorang yang sudah tua pasti merindukan
seorang anak. Sebagaimana diketahui, bagaimana senangnya menimang-nimang
anak ketika kecil dan bercengkrama dan membantu dalam kehidupan ketika
sang anak sudah besar nantinya.
Terdorong rasa ingin mendapatkan seorang anak, sedangkan keinginan
tersebut tidak dikabulkan oleh Alloh. Hingga suatu ketika Mush-chab
melihat seekor sapi yang umurnya masih muda (kira-kira 2-3 tahun) yang
beranak seekor pedet (sapi kecil). Ketika Mush-chab melihat sapi
tersebut, maka timbullah watak asli dari seorang manusia, Mush-chab
berpikir di dalam hatinya, “Duh … seekor sapi yang hanya berusia sekitar
3 tahun sudah beranak tetapi diriku yang sudah berusia 170 tahun akan
tetapi belum dikarunia seorang anak sekalipun. Sungguh tidak Adil Tuhan
kepada diriku!”.
Oleh karena itulah, hal ini yang menyebabkan Mush-chab marah, iri dan
dendam kepada sapi tersebut. Mulai dari dibunuh, dilukai bahkan hampir
di pukuli. Akan tetapi Alloh SWT memberi keistimewaan sapi tersebut di
saat itu untuk berkata kepada Mush-chab, “Hai Mush-chab, kamu akan
mendapatkan karunia putra namun karena ketidak sabaran dan sifat hasud
dirimu kepada diriku maka aku yakin kalau putramu nantinya akan menjadi
tiang atau pondasi dari neraka Jahannam”. (Al Kalamu Nishfu Ad-Dua’aa =
orang berkata bagaikan sebuah do’a)
Setelah itu Mush-chab pulang dan menjima’ istrinya, yang karenanya
istrinya mengandung namun sebelum istrinya melahirkan seorang putra yang
nantinya akan menjadi seorang Fir’aun, Mush-chab meninggal terlebih
dahulu. Sehingga sang anak tersebut di beri nama Al Walid ibn Mush-chab.
Ketika sang anak (Al Walid) besar atau baligh, diserahkan oleh ibunya
kepada seorang yang bekerja sebagai tukang kayu, di mana saat itu orang
yang berkerja sebagai tukang kayu selalu berpindah-pindah tempat dari
satu desa ke desa lain dan dari satu kota ke kota lain (nomaden). Secara
otomatis perkembangan jiwa dan karakter Al Walid terpengaruh oleh
perubahan tempat, situasi dan kondisi sehingga karakter Al Walid yang
asalnya pendiam berubah menjadi liar tidak terkendali.
Akhirnya Al Walid belajar ilmu pertukangan meski pada akhirnya tidak
suka karena penghasilan yang di dapat tidak sesuai dengan pekerjaan yang
dilakukan, oleh karena itulah Al Walid berpindah profesi menjadi
seorang penjudi. Namun Al Walid tetap tidak bersabar karena tidak sadar
bahwa dalam dunia judi itu lebih banyak kalah daripada menang dan lebih
banyak gagal daripada sukses. Sehingga hal itu menyebabkan Al Walid
setiap hari di saat pulang hanya meminta uang kepada ibunya dan jikalau
ibu tidak memiliki uang maka Al Walid marah.
Ibu Al Walid mengeluh, “Duh Anakku, kok begini perilakumu. Aku mohon
berhentilah bermain judi dan jadilah seorang anak yang baik-baik saja!”
Al Walid menjawab, “Wahai Ibu, jangan ikut campur dengan urusanku.
Apakah aku bermain judi, atau berbuat apapun, janganlah pernah sekalipun
ikut campur. Jangan indahkah diriku. Aku bisa menanggung kehidupanku
sendiri. Aku bisa mencukupi diriku sendiri!”. Inilah awal mula Al Walid
dipanggil dengan sebutan ’Aun (Opo Jare Aku), hal ini karena jawaban Al Walid kepada ibunya yang di dalam tatanan bahasa Arab disebut dengan ‘Aunu Nafsi = Menolong diri sendiri.
Nasehat dari siapapun tidak mampu merubah sifat ’Aun dari berbuat judi, meski terus-terusan kalah. Bahkan ’Aun
berani menjual pakaian meski sampai telanjang hanya untuk obsesi
bermain judi. Oleh karena sudah tidak memiliki pakaian yang bisa
digunakan maka ’Aun menggunakan kain kotor (gombal) hanya untuk menutup kemaluan depan dan belakangnya. Hal ini karena ’Aun merasa malu dengan orang lain, karena telanjang.
Setelah banyak orang yang tahu kalau ’Aun telah kalah telak dalam perjudian bahkan sampai telanjang bulat, maka ’Aun melarikan diri dari pandangan masyarakat. Oleh karena Al Walid melarikan diri (Farra dalam tatanan bahasa Arab berbentuk fi’il madhi, sedangkan Orang Arab mengatakan Firro),
dan mulai saat itu Al Walid disebut dengan sebutan Fir’aun, yang
artinya menanggung tapi melarikan diri, bisa menjaga tapi rugi, pintar
tapi gila, berani mengatakan OPO JARE AKU tapi dirinya takut, bisa
menanggung akan tetapi celaka.
Akhirnya Fir’aun kembali ke kampung halamannya setelah menyembunyikan
diri dalam pelariannya selama sekitar 1 tahun, tetapi masyarakat tetap
mengenalnya dan lebih senang memanggilnya dengan sebutan Fir’aun bukan
sebagai dengan sebutan Al Walid.
“Wahai Anakku, setelah kekalahanmu berulang kali dalam perjudian
apakah tidak lebih baik buatmu untuk kembali menjadi tukang kayu karena
ilmu yang sudah engkau miliki daripada engkau terjun kembali ke dunia
judi yang telah membuatmu kalah telak”, kata sang Ibu kepada Fir’aun
ketika bertemu.
“Sudahlah Ibu, jangan ikut campur urusanku! Apakah aku akan berkerja
atau tidak? Apakah yang akan aku kerjakan? Biarlah semua apa kataku
sendiri, bagaimanapun caranya!” Jawab Fir’aun.
Setelah itu, Fir’aun melanjutkan perjalanan dan menemukan uang 1
dirham di tengah-tengah perjalanan. Meski menurut agama seharusnya
penemuan tersebut harus diumumkan kepada khalayak akan tetapi tidak
menurut Fir’aun, karena bagi Fir’aun jangankan tidak ada yang memiliki
meski sudah jelas diketahui ada yang memiliki uang 1 dirham itupun tetap
akan diambil oleh Fir’aun.
Dari uang 1 dirham tersebut Fir’aun belanja semangka dan dijadikan
sebagai modal usaha berdagang buah-buahan. Sehingga siapapun yang
melewati tempatnya ditawari untuk membeli semangka dagangannya tersebut.
Sesaat Fir’aun berjualan semangka ada sebuah pengumuman yang menyatakan
untuk mengembalikan uang 1 dirham bagi mereka yang menemukannya, bahkan
dalam pengumuman tersebut disebutkan beserta dengan ciri-cirinya dan
perkiraan uang tersebut hilang. Hal tersebut membuat Fir’aun kaget
karena dia yang merasa yang telah menemukannya, dan mengakui kalau
dirinya yang telah menemukan uang 1 dirham tersebut namun sudah
dirupakan berupa beberapa semangka yang tujuan awalnya akan dijual.
“Jika benar kalau engkau adalah yang menemukan uang tersebut, maka
apa kamu juga tahu bahwa Pemimpin Daerah di sini mewajibkan kepada
setiap orang yang berjualan di pinggir jalan untuk membayar pajak
sebesar 1 dirham”, sahut pengawal yang menyampaikan pengumuman tersebut.
Fir’aun marah dan mengamuk kemudian mengambil semangka tersebut dan
di bawa berlari berputar-putar di Mesir, hal ini dilakukan karena akan
ditarik pajak padahal Fir’aun sudah tidak memiliki apa-apa lagi kecuali
dagangan semangka tersebut. Selama dalam pelarian tersebut, semangka
tersebut dihabiskan satu persatu di saat Fir’aun merasa lapar.
Pada akhirnya Fir’aun kemudian merampok dan mencuri ketika cadangan
buah semangka miliknya habis dimakan. Sehingga terkadang Fir’aun
ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam penjara akan tetapi tetap
berbuat hal yang sama ketika keluar dari penjara dan hal ini berulang
beberapa kali.
Suatu ketika ada seorang lelaki yang kehilangan kendali atas kuda
tunggangannya dan hal itu menyebabkan dirinya terpelanting dari atas
kuda bahkan diinjak-injak oleh kudanya sendiri. Ketika Fir’aun
mengetahui hal tersebut bukannya menolong orang yang terluka melainkan
dengan teganya Fir’aun malahan mendekati kuda yang sedang beringas
tersebut dan mencurinya.
Setelah sekian lama waktu berlalu, akhirnya pemilik kuda tersebut
sembuh dari luka yang diderita dari terjangan kuda tunggangannya sendiri
dan berkata dalam hati, “Sungguh hebat pemuda tersebut (Fir’aun),
karena mampu menundukkan seekor kuda yang sedang beringas tidak
terkendali bahkan oleh diriku yang menjadi pemiliknya”.
Ada baiknya bila dia aku jadikan dirimua sebagai seorang pembantu
diriku, menjadi ajudanku dan semua kebutuhan yang kamu inginkan akan aku
penuhi”. Demikian kata pemilik kuda bertemu dengan Fir’aun yang
kemudian diiyakan oleh Fir’aun sendiri.
Singkat kata Fir’aun menjadi ajudan orang tersebut bahkan sampai
juragan Fir’aun tersebut meninggal, satu hal yang membuat Fir’aun senang
tidak terkira dalah bahwa juragan Fir’auntidak mempunyai ahli waris
walaupun seorang. Sehingga harta juragan tersebut menjadi milik Fir’aun
dan oleh Fir’aun harta tersebut sebagian kecil diberikan kepada ibunya.
Jikalau dahulu ketika Fir’aun dimarahi oleh ibu ada sedikit rasa
takut karena merasa tidak memiliki apa-apa, maka sekarang Fir’aun tidak
merasa takut sedikitpun walau nantinya akan dimarahi oleh ibu karena
merasa sudah menjadi orang kaya meski didapat dari warisan mantan
juragan Fir’aun. Dahulu ketika Fir’aun masih miskin saja tidak mau
mendengarkan nasehat dari siapapun bahkan dari ibunya, apalagi saat ini
di saat Fir’aun memiliki banyak harta. Wajar bagi manusia ketika dalam
kondisi sukses atau kaya maka akan semena-mena namun ketika dalam
kondisi miskin mereka biasanya santun atau tidak berani macam-macam,
namun hal ini lain dengan Fir’aun. Jangankan ketika kaya, bahkan ketika
dalam kondisi mengenaskan atau miskin-pun Fir’aun sudah berbuat semaunya
(semena-mena).
Namun pada akhirnya kekayaan melimpah yang didapatnya dari mantan
juragan Fir’aun habis tidak tersisa, hal ini dikarenakan gaya hidup
Fir’aun yang berfoya-foya, dari mabuk-mabukkan, bermain perempuan,
berjudi dan lain sebagainya malah lebih sering dilakukan ketika kaya. Di
saat kehabisan harta itulah, maka yang dikerjakan Fir’aun hanya duduk
di depan pintu-pintu makam Mesir dengan tujuan tidak lain untuk meminta
uang meski dengan sedikit memaksa kepada para peziarah makam. Bahkan
Fir’aun beralasan hal ini dilakukan karena mendapat perintah dari Raja
Mesir.
Oleh karena mereka para peziarah mengira kalau itu benar perintah
Raja Mesir meskipun pada dasarnya Raja Mesir sendiri tidak mengetahui
kalau namanya digunakan oleh Fir’aun untuk kepentingan pribadi Fir’aun
sendiri. Sehingga setiap peziarah datang ke makam selalu memberi uang
yag terkadang tidak sedikit kepada Fir’aun. Hal ini berlangsung lama
sekali dan bahksan uang yang didapat Fir’aun melimpah, sehingga Fir’aun
sanggup membangun sebuah istana, membayar upah pembantu, memiliki juru
masak pribadi.
Ketika anak Raja Mesir meniggal dunia dan hendak dimakamkan, maka
dengan akal liciknya Fir’aun mendekati jenazah anak Raja Mesir tersebut
dengan menangis meraung-raung, hal ini dengan maksud agar masyarakat
semakin percaya jikalau Fir’aun adalah anak buah Raja Mesir. Namun Raja
Mesir sendiri heran dengan apa yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap
jasad anaknya karena merasa tidak mengenal Fir’aun. Namun ketika raja
kembali ke kerajaan, dia mendapat informasi dari para pejabat dan
pengawal kerajaan tentang Fir’aun dan apa yang dilakukan di pintu makam
tersebut. Setelah mendapat informasi yang akurat dari bawahannya, maka
dengan segera raja memanggil Fir’aun untuk menghadap.
“Sungguh berani sekali engkau mengatas-namakan diriku untuk melakukan
penarikan uang kepada para peziarah?” bentak Raja Mesir kepada Fir’aun
sesaat setelah Fir’aun dihadapkan.
Setelah membentak Fir’aun, raja mengambil sebilah pedang yang gunanya
untuk memenggal kepala Fir’aun. Sesaat sebelum pedang tersebut
memenggal lehernya, Fir’aun berteriak meminta ampun kepada baginda raja
dan bersedia membayar sejumlah uang berapapun yang diminta oleh raja
sebagai bentuk tebusan nyawanya yang telah berbuat salah.
Akhirnya ampunan raja diberikan setelah raja menyetujui usulan dari
Fir’aun yang berani menebus nyawanya dengan harga berapapun yang
diminta. Bahkan karena hal tersebut juga, Raja Mesir berencana untuk
mengangkat Fir’aun sebagai orang kepercayaannya dalam urusan penarikan
pajak di depan makam. Namun rencana raja di tolak oleh seluruh
bawahannya, dengan alasan akan menurunkan wibawa dan nama baik raja di
masyarakat jika menuruti saran dari Fir’aun untuk menarik pajak di depan
pintu makam. Namun raja tetep bersikeras meneruskan usulan Fir’aun,
dengan alasan Fir’aun telah sukses melaksanakannya selama ini. Pada
akhirnya kegiatan penarikan uang di depan makam oleh Fir’aun tidak
disetujui oleh dewan kerajaan sehingga batal untuk dilaksanakan.
Karena raja yang sudah menerima uang suap dari Fir’aun juga
menjanjikan kepada Fir’aun untuk diangkat sebagai orang kepercayaan
dalam urusan uang pajak namun hal tersebut tidak disetujui oleh dewan
kerajaan sehingga batal buat Fir’aun untuk diangkat sebagai kepercayaan
raja. Namun bukan Fir’aun namanya kalau tidak mempunyai rencana
cadangan. Fir’aun menawarkan diri kepada raja untuk menjadi kepala
keamanan di kerajaan Mesir, karena Fir’aun tahu kalau raja Mesir
memiliki banyak musuh, dan tawaran Fir’aun yang ini disetujui oleh raja.
Sehingga Fir’aun sukses diangkat menjadi kepala keamanan khusus raja
Mesir.
Karena Raja yang terlalu mengistimewakan Fir’aun dengan cara
membangun sebuah benteng khusus di dalam kerajaan untuk tempat Fir’aun
menjalankan tugas, sehingga hal inilah juga yang memicu musuh raja
semakin hari semakin banyak. Hingga puncaknya, pada suatu hari ada
seseorang yang bermaksud untuk membunuh raja Mesir. Raja Mesir yang
merasakan bahwa hidupnya terancam berlarian kesana kemari di dalam
kerajaan untuk meminta tolong kepada siapapun yang ditemuinya termasuk
kepada Fir’aun. Namun dikarenakan benteng tempat Fir’aun berada sangat
jauh sehingga membuat raja harus berlari lebih lama lagi.
“Fir’aun tolong aku, karena akan ada yang membunuh diriku?”, raja
menyampaikan maksud kedatangannya kepada Fir’aun saat sudah sampai di
depan benteng tempat Fir’aun berada.
“Silahkan masuk ke dalam benteng baginda raja, karena biar aku mudah untuk menolong baginda!”, jawab Fir’aun.
Ketika raja sudah berada di dalam benteng, Fir’aun menyuruh raja
untuk duduk sedangkan Fir’aun sendiri berjalan ke arah pintu dan
menguncinya dari dalam setelah itu Fir’aun mengambil sebilah pedang dan
membunuh raja. Kemudian dengan liciknya Fir’aun melepas semua pakaian
dan mahkota raja untuk digunakan sendiri dan dengan percaya dirinya
menduduki singgasana kerajaan. Hal ini membuat geger seluruh kerajaan,
semua punggawa kerajaan bertanya kepada Fir’aun di mana raja sekarang.
“Tidak usah kalian mencari raja di mana, yang terpenting sekarang
adalah bahwa aku sekarang menjadi Raja kalian yang baru!”, jelas Fir’aun
kepada seluruh penghuni kerajaan Mesir.
Akhirnya dengan kelicikannya Fir’aun menguasai kerajaan dan
menyingkirkan siapa saja yang tidak suka dengan dirinya atau berusaha
untuk menentangnya. Hal ini berlangsung lama sampai saat di mana Fir’aun
bertemu dengan seorang anak kecil yang bernama Musa as.
Nara Sumber : KH. Yazid Busthomi dari Wahab ibnu Munabbih