Natal Vs Maulid
HARLAH, NATAL, DAN MAULID
Oleh: Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Menggunakan
ketiga kata di atas dalam satu napas tentu banyak membuat
orang marah. Seolah-olah penulis menyamakan ketiga peristiwa
itu karena bagi kebanyakan Muslimin, satu dari yang lain sangat
berbeda artinya.
* Natal, yang menurut arti bahasanya adalah sama
dengan kata harlah, hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih
belaka. Jadi ia mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan
secara umum -seperti dalam bidang kedokteran, seperti
perawatan prenatal yang berarti "perawatan sebelum kelahiran".
Yang dimaksud dalam peristilahan 'Natal' adalah saat Isa
Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh "perawan suci" Maryam.
Karena
itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran anak
manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Karena kaum Nasrani mempercayai adanya dosa asal. Anak manusia
yang bernama Yesus Kristus itu sebenarnya adalah anak Tuhan,
yang menjelma dalam bentuk manusia, guna memungkinkan
"penebusan dosa" tersebut.
Natal, dalam kitab suci
Alqur'an disebut sebagai "yauma wulida" (hari kelahiran, yang
secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai hari
kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang
yang dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat
dipakaikan pada beliau atau kepada Nabi Daud.
Sebaliknya,
firman Allah dalam surat al-Maryam: "Kedamaian atas diriku
pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu),
jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa. Bahwa kemudian
Nabi Isa "dijadikan" Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah
suatu hal yang lain lagi, yang tidak mengurangi arti ucapan
Yesus itu.
Artinya, Natal memang diakui oleh kitab suci al-Qur'an,
juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran-Nya, yang harus
dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran itu
memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk
yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah hal yang
tidak perlu dipersoalkan. Jika penulis merayakan Natal adalah
penghormatan untuk beliau dalam pengertian yang penulis yakini,
sebagai Nabi Allah SWT.
Sedangkan Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi
(Saladin the Saracen), penguasa dari wangsa Ayyub yang
berkebangsaan Kurdi/ non-Arab itu, enam abad setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, harus berperang melawan orang-orang
Kristiani yang dipimpin Richard berhati singa (Richard the Lion
Heart) dan Karel Agung (Charlemagne) dari Inggris dan Prancis
untuk mempertanggungjawabkan mahkota mereka kepada Paus,
melancarkan Perang Salib ke tanah suci.
Harlah (hari lahir) digunakan untuk menunjuk pada saat kelahiran seseorang atau sebuah institusi.
Dengan
demikian, ia memiliki "arti biasa" yang tidak ada kaitannya
dengan agama. Sementara bagi Muslimin, kata Maulid selalu
diartikan saat kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kata Natal bagi
kebanyakan orang, termasuk kaum Muslimin dan terlebih -lebih
umat Kristen, memiliki arti khusus yaitu hari kelahiran Isa Al
-Masih.
Karena itulah, penyamaannya dalam satu napas yang
ditimbulkan oleh judul di atas dianggap "bertentangan" dengan
ajaran agama. Karena dalam pandangan mereka, istilah itu memang
harus dibedakan satu dari yang lain. Penyampaiannya pun dapat
memberikan kesan lain, dari yang dimaksudkan oleh orang yang
mengucapkannya.
Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan maksud untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam Perang Salib (crusade), maka ia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut, enam abad setelah Rasulullah wafat.
Sedangkan Maulid adalah saat kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pertama kali dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dari Dinasti Mamalik yang berkebangsaan Kurdi itu. Dengan maksud untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin, agar menang dalam Perang Salib (crusade), maka ia memerintahkan membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad tersebut, enam abad setelah Rasulullah wafat.
Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam
berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi
Arabia. Karya- karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis
dalam puisi dan prosa untuk "menyambut kelahiran" itu.
Karenanya
dua kata (Natal dan Maulid) yang mempunyai makna khusus
tersebut, tidak dapat dipersamakan satu sama lain, apa pun juga
alasannya. Karena arti yang terkandung dalam tiap istilah itu
masing -masing berbeda dari yang lain, siapapun tidak dapat
membantah hal ini.
Sebagai perkembangan "sejarah ilmu", dalam
bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kedua kata Maulid dan Natal
adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang
diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al -khash). Hal ini
disebabkan oleh perbedaan asal-usul istilah tersebut dalam
sejarah perkembangan manusia yang sangat beragam itu. Bahkan
tidak dapat dimungkiri, bahwa kata yang satu hanya khusus
dipakai untuk orang -orang Kristiani, sedangkan yang satu lagi
dipakai untuk orang-orang Islam.
Untuk menyemangatkan
tentara Islam yang melakukan peperangan itu, Saladin
memerintahkan dilakukannya perayaan Maulid Nabi tiap-tiap
tahun, di bulan kelahiran beliau. Bahwa kemudian peringatan itu
berubah fungsinya, yang tidak lagi mengobarkan semangat
peperangan kaum Muslimin, melainkan untuk mengobarkan semangat
orang-orang Islam dalam perjuangan (tidak bersenjata) yang
mereka lakukan, itu adalah perjalanan sejarah yang sama sekali
tidak mempengaruhi asal-usul kesejarahannya.
Jadi jelas
bagi kita, kedua peristiwa itu jelas mempunyai asal- usul,
dasar tekstual agama dan jenis peristiwa yang sama sekali
berbeda. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk
turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang
disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau tidak,
karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Penulis
menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani
merayakannya bersama-sama.
Dalam literatur fiqh, jika kita duduk
bersama-sama dengan orang Lain yang sedang melaksanakan
peribadatan mereka, seorang Muslim diperkenankan turut serta
duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut dalam ritual
kebaktian. Namun hal ini masih merupakan "ganjalan" bagi kaum
muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan
"dianggap" turut berkebaktian yang sama.
Karena itulah,
kaum Muslimin biasanya menunggu di sebuah ruangan, sedangkan
ritual kebaktian dilaksanakan di ruang lain. Jika telah
selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur dengan mereka untuk
menghormati kelahiran Isa al-Masih.
Inilah "prosedur" yang
ditempuh oleh para pejabat kita tanpa mengerti sebab
musababnya. Karena jika tidak datang melakukan hal itu,
dianggap "mengabaikan" aturan negara, sebuah masalah yang sama
sekali berbeda dari asal-usulnya.
Sementara dalam
kenyataan, agama tidak mempersoalkan seorang pejabat datang
atau tidak dalam sebuah perayaan keagamaan. Karena jabatan
kenegaraan bukanlah jabatan agama, sehingga tidak ada keharusan
apapun untuk melakukannya.
Namun seorang pejabat, pada umumnya
dianggap mewakili agama yang dipeluknya. Karenanya ia harus
mendatangi upacara-upacara keagamaan yang bersifat
'ritualistik', sehingga kalau tidak melakukan hal itu ia akan
dianggap 'mengecilkan' arti agama tersebut.
Itu adalah
sebuah proses sejarah yang wajar saja. Setiap negara Berbeda
dalam hal ini, seperti Presiden AS yang tidak dituntut untuk
mendatangi peringatan Maulid Nabi Saw. Di Mesir umpamanya,
Mufti kaum Muslimin-yang bukan pejabat pemerintahan-
mengirimkan ucapan selamat Natal secara tertulis, kepada Paus
Shanuda (Pausnya kaum Kristen Coptic di Mesir).
Sedangkan
kebalikannya terjadi di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha,
bukan pada hari Maulid Nabi SAW. Padahal di Indonesia pejabat
beragama Kristiani, kalau sampai tidak mengikuti peringatan
Maulid Nabi SAW akan dinilai tidak senang dengan Islam, dan ini
tentu berakibat pada karier pemerintahannya.
Apakah ini
merupakan sesuatu yang baik atau justru yang buruk, penulis
tidak tahu. Kelanjutan sejarah kita sebagai bangsa, akan
menunjukkan kepada generasi-generasi mendatang apakah arti
moral maupun arti politis dari "kebiasaan" seperti itu.
Di
sini menjadi jelas bagi kita, bahwa arti pepatah lain padang
lain ilalang, memang nyata adanya. Semula sesuatu yang
mempunyai arti keagamaan (seperti perayaan Natal),
lama-kelamaan "dibudayakan" oleh masyarakat tempat ia
berkembang. Sebaliknya, semula adalah sesuatu yang
"dibudayakan" lalu menjadi berbeda fungsinya oleh perkembangan
keadaan, seperti Maulid Nabi saw di Indonesia.
Memang
demikianlah perbedaan sejarah di sebuah negara atau di kalangan
suatu bangsa. Sedangkan di negeri lain orang tidak pernah
mempersoalkannya baik dari segi budaya maupun segi keyakinan
agama. Karenanya, kita harus berhati-hati mengikuti
perkembangan seperti itu. Ini adalah sebuah keindahan sejarah
manusia, bukan? *
Jerusalem, 20 Desember 2003
Penulis adalah Ketua Umum Dewan Syura DPP PKB

