Kehidupan ini hanya Sawang Sinawang

 Seiring perjalanan waktu sering kali kita melihat fenomena masyarakat yang agamis namun pluralis yakni masyarakat yang menjunjung agamanya namun tetap menghormati perbedaan mengalami sebuah gejala kemerosotan mental dan kemerosotan sosial. Di mana pada awalnya masyarakat dibangun atas dasar kesetaraan tidak ada perbedaan yang kaya dengan yang miskin, ilmuan dengan masyarakat awam, dan semua elemen dalam masyarakat kini sudah berubah menjadi masyarakat yang terkotak-kotak dan terjadi gap atau jurang pemisah yang amat lebar dari masing-masing elemen masyarakat. 

Kontrasnya kehidupan masyarakat tercermin nyata dalam fenomena sehari hari dalam kehidupan kita.
Sering pula kita melihat banyak orang yang menganggap dirinya sebagai orang yang dalam tanda kutip paling berhak dihormati, dan masyarakat awam yang mereka anggap masyarakat kelas dua bahkan kelas tiga yang berhak dilecehkan, akibatnya masing-masing kelompok ini memisahkan diri dan membentuk komunitas yang berbeda dalam masyarakat dan akibatnya salah satu kelompok yang merasa “kelas bawah” menjadi minder, takut, menutup diri dan lari dari pergaulan sosial yang amat kompleks.

Karena gejala ini sering terjadi sentimen-sentimen dan prasangka-prasangka negatif yang mengakibatkan hubungan sosial dalam masyarakat tersebut semakin tersekat-sekat oleh perbedaan status sosial yang semestinya dihindari. Padahal sebagai masyarakat yang amat beragam dari sisi sosialnya tentu saja tidak harus membedakan mereka dari sisi ekonomi dan status sosial di masyarakat, akan tetapi agar lebih saling menyambung silaturrahmi dan persaudaraan tanpa memandang kasta, kepada siapapun hendaknya bergaul, bercengkrama, saling berbagi, saling mengisi kekurangan dan saling mengingatkan dengan cara yang santun.

Agama dalam hal ini memberikan suatu cara untuk menyikapi hal itu semua. Karna inti kehidupan ini manusia itu sama saja, yang membedakan dalam pandangan Allah Swt adalah keimanan yang tertanam dalam setiap hambanya. Dalam keterangan kitab نصا ئح العباد
Agar menjadi manusia yang baik, sangat dianjurkan untuk memikirkan empat perkara:
1. Memikirkan nikmat Allah Swt yang diberikan kepada kita.
Kalau mau memikirkan nikmat nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Ujungnya kita akan makin bersyukur kepada Allah Swt. Kalau sudah bersyukur, akan senang kepada Allah, kalau sudah senang kepada Allah pasti akan ringan melakukan perintah perintah Allah Swt.
 وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ
 Dan jika kamu memikirkan nikmat - nikmat Allah, Niscaya kamu tak akan pernah mampu menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah maha pengampun dan lagi maha penyayang.
Contoh kecil - kecil saja:
- Mata kita bisa berkedip secara otomatis, kalau tidak bisa pasti merawaskan saat kita bepergian dan jalan jalan. Yang tidak diperintah bisa menutupdan membuka secara otomatis.
- Diberi telingga oleh Allah yang bentuknya tidak terlalu tipis dan tidak terlalu kaku,
kalau terlalu tipis, jika buat naik kendaraan akan kiwir kiwir jika terkena hembusan angin, iwir....iwir....iwi....{begitu bunyinya}.
- Lidah yang hanya satu bentuk tapi bisa merasakan dan membedakan berbagai macam hingga berjuta rasa.

Sangat banyaknya nikmat Allah yang diberikan kepada kita, maka dari itu kita tidak boleh mengerutu{Ngeremeng}karena itu sama saja dengan menyalahkan aturan Allah, tidak terima dengan aturannya Allah, sebab semua itu yang mengatur adalah Allah Swt.
Disyukuri saja besar dan kecilnya semua nikmat Allah. Orang itu jika diberi nikmat sedikit tidak bisa mensyukuri, diberi nikmat banyak tidak mungkin bisa syukur juga.
2. Orang yang kaya adalah WONG seng NERIMO{menerima apapun pemberian ALlah dengan lapang dada}. Karena kalau urusan dunia itu hanya sawang sinawang{saling pandang - memandang, mek dhelok-dhelo'an}.
Penghidupan jiwa{pengupo jiwo}itu sudah dibagi oleh Allah Swt, sudah ada bagianya sendiri sendiri. Banyak contoh contoh yang bisa kita ambil dalam kehidupan ini. Anatara lain:
- Enak jadi tukang cukur, bisa memegang kepala semua orang{di ongkak ongkek yo nurut}
- Enaak opo{kata tukang cukur}, bayarannya sedikit, hanya bisa memegang kepala saja kalau ada salahnya, bisa berdarah dan di marahi orang.
- Enak tukan pijat{kata tukang cukur}, sudah dapat uang, bisa pegang pegang sekujur tubuh orang.
Maka orang yang paling enaak hidupnya itu Orang Yang Neriman{Nerimo ing Pandum}, dan pintar mensyukuri nikmat Allah swt.

* Adapun cara mensyukuri nikmat itu yaa dilihat lihat dari nikmatnya. Kita diberi oleh Allah nikmat yang tiada habisnya, sangat banyak sekali nikmat yang diberikn allah kepada kita. Mestinya kita malu kepada allah. Karena, kita tak bisa membalasnya.
- Bagaimana carana membalas nikmat allah yang diberikan kepada kita?
Jawab: Malu kepada allah, kita tebus dengan ibadah. Ibadah ayo dilakukan semampu dhoher bathen kita. Di perintah sholat, ayo tunaikanlah sholat. Meski tidak khusyu' yang penting yang rajin dan bersungguh sungguh.
- Kita mengharapkan syafa'at dari Nabi Muhammad Saw. Maka kita wajib menebusnya dengan cara mahabbah {cinta nabi}, ittiba' kepada rosul, wasilah{kirim do'a kepada nabi Muhammad Saw}.
- Malu kepada orang tua yang telah mengukir jiwa raga, yang melahirkan, merawat kita.
Cara menebusnya dengan birrul walidain dengan sikap, harta, tenaga dan do'a.
- Malu kepada guru, karena guru pelantara kita mempunyai ilmu. Cara menebusnya kita harus ta'dhim dan takrim kepada guru guru kita.
- Ibu ibu malu kepada suaminya. Cara membalasnya dengan setia kepada suami. Ingatlah sulitnya suami saat mencari nafkah sedangkan istri dirumah tinggal menerima saja. Tapi kebanyakan istri yang dihitung hanya nilai jumlah nomilnya" kok hanya segini, mana cukup, kurang buat kebutuhan sehari hari". Hati istri kosong dari menghadirkan derita suami.
Manusia diciptakan berbeda karena itu sudah sunatullah atau hukum alam yang bersifat hakiki akan tetapi perbedaan itu semestinya menjadikan segalanya menjadi lengkap, teratur dan sempurna.
Karena, tidak akan berguna jika seluruh masyarakat adalah masyarakat yang kaya atau ilmuan semua. Jika memang masyarakat menghendaki kekayaan harus merata dan tidak ada kemiskinan karena semakin sejahteranya masyarakat akibatnya justru akan terjadi ketidak stabilan dalam hidup.
Ketidak stabilan dalam hidup dimaksudkan dengan amat tidak bergunanya semua harta yang kita miliki manakala tidak ada lagi orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita, dan amat tidak wajar jika kita melabelkan diri sebagai seorang ahli atau ilmuan tapi ilmu kita tidak bermanfaat untuk orang lain.

Kalau perbedaan itu menjadi alat “pemisah” atau pembeda dan menjadikannya skat (gap)  maka akibatnya munculah sentimen dan kecemburuan sosial yang berlebihan, jika ini terjadi maka akan sangat berbahaya karena masing-masing segmen ini menjadi tak terkendali dan berusaha merubah sesuatu yang semestinya amat bermanfaat justru akan berakibat bencana.
Sah-sah saja adanya perbedaan dalam masyarakat dan ini akan menjadi indah manakala perbedaan itu menjadikan harmonisasi dan romantisme dalam pergaulan di masyarakat tanpa memandang bulu dan perbedaan status sosial.


Google +